Ingatkah dia ketika sore itu kami sesama berbaring diantara dinding yang sembunyikan kami dari terik diluar yang beringas? aku berdiam disampingnya, mendengarnya bercerita tentang hidupnya. Detik waktu melambat seiring ceritanya yang kian sendu. Masih termangu mendengar segala liku hidupnya, sampai ketika dia tumpahkan segala rindunya pada ayahnya.. Auranya membiru, berubah pilu seakan tak tau lagi kemana harus mengadu rindu. Seakan sebongkah rindunya itu tak bisa lagi bertahan sebelum akhirnya meledak dan tangis pun pecah. Aku tau sekuatnya dia tahan air mata agar tak muncul, tapi tak mampu. Jelas sekalli kuingat dia kepalkan tangannya karena endapan marah dan kesal akibat budi pada ayahnya belum sempat dia balas, belum mampu dia banggakan ayahny. Begitu ucapnya bersamaan air matanya jatuh dari mata kanannya. Aku tak lagi berfikir, mengusap air matanya dan sedikit kata penenang terlontar begitu saja. Setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan untuk mengurangi kepiluan yang menyelimutinya. Airmatanya masih mengalir, kuusap lagi dan dia berkata lagi, dia rindu ayahnya, mengucap terimakasih padaku untuk menjadi pendengar kepiluannya sembari menggenggam tanganku di pundak kanannya. Tiba-tuva semua terasa hening, tenang.
Ya, kenangan. Kumaafkan.
What a relief!
Selasa, 29 Januari 2013
Minggu, 27 Januari 2013
hampir saja!
Sebulan. Tepat sebulan sejak keputusanku. Sungguh sekuat tenaga aku berjuang untuk menyusun kembali hidupku yang pernah dia hancurkan. Sudah sejauh ini, sudah sekian besar serpihan hidupku yang berhasil kususun. Pelan-pelan. Sedikit demi sedikit. Berkali-kali jatuh. Tapi sudah kuputuskan untuk tak menyerah. Aku sudah berhasil sejauh ini. Aku sudah bisa senyum dan tertawa lagi. Sinarku perlahan kembali.
Lalu sesaat usahaku tiba-tiba buram. 26 Januari 2013. Dengan ringan dia datang lagi menyusup diantara serpihan membuat yang sudah tersusun nyaris runtuh lagi. Tanya, tata, dan tawa ringan seakan tak ada sedikitpun rasa sesal dia pernah menghancurkan aku. Coba saja dia ada di posisiku sekarang. Yakinku dia juga rasa begini. Aku sudah sangat nyaris bisa memaafkannya meski tak ada kata maaf. Aku sudah hampir bisa melupakannya dan segala hal yang pernah dia lakukan padaku. Kenapa dia datang dengan ringan seperti ini? Dia membangunkan marahku karena keringanannya.
Tapi beruntung aku tersadar sebelum terlambat. sebelum benciku sampai di ubun-ubun lalu meledak. sudah jadi keputusanku untuk memaafkan. Sudah jadi keputusanku untuk melupakan. Akan kususun lagi yang tadi nyaris runtuh. Aku marah, tapi tak benci. Membenci hanya mempersulitku. Menyempitkan hidupku.
Aku tak akan membenci. Seburuk apapun, sejahat apapun, segelap apapun, sehancur apapun, Aku takkan membenci. Aku masih punya mimpi. Membenci menjauhkanku dari realisasi mimpi.apa yang pernah terjadi karenanya pernah menghancurkan hidupku sekali, membencinya pernah membuatku kehilangan arah, tapi sekarang Takkan kubiarkan ia menghancurkan mimpiku yang berharga. aku janji.
Lalu sesaat usahaku tiba-tiba buram. 26 Januari 2013. Dengan ringan dia datang lagi menyusup diantara serpihan membuat yang sudah tersusun nyaris runtuh lagi. Tanya, tata, dan tawa ringan seakan tak ada sedikitpun rasa sesal dia pernah menghancurkan aku. Coba saja dia ada di posisiku sekarang. Yakinku dia juga rasa begini. Aku sudah sangat nyaris bisa memaafkannya meski tak ada kata maaf. Aku sudah hampir bisa melupakannya dan segala hal yang pernah dia lakukan padaku. Kenapa dia datang dengan ringan seperti ini? Dia membangunkan marahku karena keringanannya.
Tapi beruntung aku tersadar sebelum terlambat. sebelum benciku sampai di ubun-ubun lalu meledak. sudah jadi keputusanku untuk memaafkan. Sudah jadi keputusanku untuk melupakan. Akan kususun lagi yang tadi nyaris runtuh. Aku marah, tapi tak benci. Membenci hanya mempersulitku. Menyempitkan hidupku.
Aku tak akan membenci. Seburuk apapun, sejahat apapun, segelap apapun, sehancur apapun, Aku takkan membenci. Aku masih punya mimpi. Membenci menjauhkanku dari realisasi mimpi.apa yang pernah terjadi karenanya pernah menghancurkan hidupku sekali, membencinya pernah membuatku kehilangan arah, tapi sekarang Takkan kubiarkan ia menghancurkan mimpiku yang berharga. aku janji.
Selasa, 08 Januari 2013
forgiveness
Kata orang larut dalam kesedihan itu nggak baik. yeah, sejauh ini yang saya rasakan itu benar. sayangnya saya belum menemukan celah untuk keluar dari jerat gelap yang bikin saya berantakan. sampai detik ini saya masih mencari cara, bukan mencari, senantiasa mencoba segala cara untuk merapikan kembali hidup saya. saya sedang kerahkan semua pasukan dan sekutu saya untuk menarik saya keluar dari zona gelap, tapi sampai sekarang belum berhasil juga.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam kasus ini sebenarnya oknum atau tersangkanya memang bisa dibilang sedikit kurang ajar, bukan sedikit, cenderung (maaf) brengsek. mungkin saya bisa bilang begitu karena sekarang saya masih marah. ya maaf, saya nggak berniat untuk menebarkan bibit permusuhan, hanya bingung mencari sebutan yang pas. sampai saat ini, nggak ada kabar, nggak ada maaf, dan (mungkin) nggak ada niatan buat menepati janji, ataupun memperbaiki keadaan. karena (mungkin lagi) si oknum sudah berada pada zona aman dan nyaman.
Saya sendiri masih marah dan kecewa sama badan, otak dan hati saya. kenapa? karena sejauh ini saya masih belum ngerti sebab atau alasan saya pernah menaruh kepercayaan besar sama orang yang salah. jujur saya kecewa sekali. saya bahkan mengabaikan larangan, himbauan, dan peringatan dari sahabat dan orang orang terdekat. yah penyesalan memang selalu datang di belakang, kalo di depan, namanya pendaftaran, kan? yang lebih di sayangkan lagi, pikiran tentang oknum masih sering muncul di otak saya. bodoh.
Saat benci dan sayang saling tuding dan berada pada posisi yang sama berat, satu-satunya jalan adalah melupakan. yeah, itu satu-satunya jalan yang terpikirkan di tengah-tengah otak saya yang amburadul. ya walaupun nggak segampang teorinya, melupakan adalah sebuah fungsi tujuan yang memiliki banyak constrain atau batasan yang nggak spesifik, sehingga untuk mencapai nilai optimum, yaitu 'benar-benar lupa' sulit sekali tercapai. padahal nilai optimum 'benar-benar lupa' merupakan satu variabel dari fungsi tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu kembali ke kehiduipan normal.
Untuk mencapai nilai optimum tadi, saya melakukan research ke sahabat-sahabat saya, mereka yang senantiasa support saya. ternyata sejauh ini, dari inti pemecahan masalah yang saya tarik dari kumpulan masukan yang mereka kasih, memaafkan adalah variabel penting yang harus di aplikasikan. lagi-lagi sebuah teori ringan yang berat untuk di praktekkan. pertama-tama saya harus berdamai dulu sama diri saya sendiri, baru memaafkan oknum. setelah dua variabel itu terpenuhi, mereka bilang akan lebih mudah untuk mencapai tujuan utama saya, yaitu kembali ke hidup normal saya yang menyenangkan. walaupun nggak secara langsung, masih banyak variabel yang harus saya kumpulkan.
Tugas besar saya sekarang adalah membuat sistem pemroses-maaf yang sebesar-besarnya kemudian memasukkan segala negativitas ke dalamnya untuk di proses dan dihapus dari peredaran. termasuk segala hal yang bersagkutan dengan oknum. bukan untuk membuat saya dan dia menjadi bermusuhan, memutus persaudaraan atau apapun yang berbau negative. hanya bertujuan untuk memperbaiki keadaan. mungkin saja suatu saat nanti saat semua sudah normal, saya dan dia bisa kembali menjadi teman.
Untuk diingat, ini masih merupakan teori yang masih dalam proses aplikasi dalam real life.saya sebagai pihak yang sedang menerapkan teori ini mengakui bahwa teori ini sangat kompleks dan berat. dalam percobaannya saja, rentan sekali terjadi kegagalan dalam proses yang menyebabkan tumbuhnya rasa nggak yakin. saat saya menulis ini, saya sedang mengalami krisis percaya diri, tapi saya harap teori ini berhasil.
Terimakasih untuk sahabat dan orang-orang terdekat yang selalu ada saat saya terbang maupun terpuruk. saya janji saya nggak akan nyerah selama kalian tetap ada untuk support saya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam kasus ini sebenarnya oknum atau tersangkanya memang bisa dibilang sedikit kurang ajar, bukan sedikit, cenderung (maaf) brengsek. mungkin saya bisa bilang begitu karena sekarang saya masih marah. ya maaf, saya nggak berniat untuk menebarkan bibit permusuhan, hanya bingung mencari sebutan yang pas. sampai saat ini, nggak ada kabar, nggak ada maaf, dan (mungkin) nggak ada niatan buat menepati janji, ataupun memperbaiki keadaan. karena (mungkin lagi) si oknum sudah berada pada zona aman dan nyaman.
Saya sendiri masih marah dan kecewa sama badan, otak dan hati saya. kenapa? karena sejauh ini saya masih belum ngerti sebab atau alasan saya pernah menaruh kepercayaan besar sama orang yang salah. jujur saya kecewa sekali. saya bahkan mengabaikan larangan, himbauan, dan peringatan dari sahabat dan orang orang terdekat. yah penyesalan memang selalu datang di belakang, kalo di depan, namanya pendaftaran, kan? yang lebih di sayangkan lagi, pikiran tentang oknum masih sering muncul di otak saya. bodoh.
Saat benci dan sayang saling tuding dan berada pada posisi yang sama berat, satu-satunya jalan adalah melupakan. yeah, itu satu-satunya jalan yang terpikirkan di tengah-tengah otak saya yang amburadul. ya walaupun nggak segampang teorinya, melupakan adalah sebuah fungsi tujuan yang memiliki banyak constrain atau batasan yang nggak spesifik, sehingga untuk mencapai nilai optimum, yaitu 'benar-benar lupa' sulit sekali tercapai. padahal nilai optimum 'benar-benar lupa' merupakan satu variabel dari fungsi tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu kembali ke kehiduipan normal.
Untuk mencapai nilai optimum tadi, saya melakukan research ke sahabat-sahabat saya, mereka yang senantiasa support saya. ternyata sejauh ini, dari inti pemecahan masalah yang saya tarik dari kumpulan masukan yang mereka kasih, memaafkan adalah variabel penting yang harus di aplikasikan. lagi-lagi sebuah teori ringan yang berat untuk di praktekkan. pertama-tama saya harus berdamai dulu sama diri saya sendiri, baru memaafkan oknum. setelah dua variabel itu terpenuhi, mereka bilang akan lebih mudah untuk mencapai tujuan utama saya, yaitu kembali ke hidup normal saya yang menyenangkan. walaupun nggak secara langsung, masih banyak variabel yang harus saya kumpulkan.
Tugas besar saya sekarang adalah membuat sistem pemroses-maaf yang sebesar-besarnya kemudian memasukkan segala negativitas ke dalamnya untuk di proses dan dihapus dari peredaran. termasuk segala hal yang bersagkutan dengan oknum. bukan untuk membuat saya dan dia menjadi bermusuhan, memutus persaudaraan atau apapun yang berbau negative. hanya bertujuan untuk memperbaiki keadaan. mungkin saja suatu saat nanti saat semua sudah normal, saya dan dia bisa kembali menjadi teman.
(seperti kata seorang sahabat, saya harus mencoba jadi seperti daun.
"maafkan sang angin walapun anginlah yang buat dia jatuh")
Terimakasih untuk sahabat dan orang-orang terdekat yang selalu ada saat saya terbang maupun terpuruk. saya janji saya nggak akan nyerah selama kalian tetap ada untuk support saya.
Langganan:
Postingan (Atom)