Ingatkah dia ketika sore itu kami sesama berbaring diantara dinding yang sembunyikan kami dari terik diluar yang beringas? aku berdiam disampingnya, mendengarnya bercerita tentang hidupnya. Detik waktu melambat seiring ceritanya yang kian sendu. Masih termangu mendengar segala liku hidupnya, sampai ketika dia tumpahkan segala rindunya pada ayahnya.. Auranya membiru, berubah pilu seakan tak tau lagi kemana harus mengadu rindu. Seakan sebongkah rindunya itu tak bisa lagi bertahan sebelum akhirnya meledak dan tangis pun pecah. Aku tau sekuatnya dia tahan air mata agar tak muncul, tapi tak mampu. Jelas sekalli kuingat dia kepalkan tangannya karena endapan marah dan kesal akibat budi pada ayahnya belum sempat dia balas, belum mampu dia banggakan ayahny. Begitu ucapnya bersamaan air matanya jatuh dari mata kanannya. Aku tak lagi berfikir, mengusap air matanya dan sedikit kata penenang terlontar begitu saja. Setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan untuk mengurangi kepiluan yang menyelimutinya. Airmatanya masih mengalir, kuusap lagi dan dia berkata lagi, dia rindu ayahnya, mengucap terimakasih padaku untuk menjadi pendengar kepiluannya sembari menggenggam tanganku di pundak kanannya. Tiba-tuva semua terasa hening, tenang.
Ya, kenangan. Kumaafkan.
What a relief!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar